Posted by Jhon Frie. Category:
TEOLOGI ISLAM
Pengertian “Free Will dan Predestination”
Free will = Kebebasan Berkehendak
Menurut
para filosof, free will ini adalah “kapasitas tertentu dari pola pikir
rasional untuk memilih sejenis tindakan dari berbagai alternatif atau
pilihan-pilihan yang ada”. Atau “kemampuan pola pikir untuk membuat pilihan
atau memilih satu dari banyak pilihan”.
Para
psikolog menguraikan arti free will sebagai seperangkat kemampuan
internal untuk mengontrol perilaku individu. Dengan kata lain, sisi dalam
manusia (akal manusia) yang berperan membuat pilihan-pilihan rasional.
Predestination=Takdir
Kata
takdir diderivasi dari bahasa Arab qaddara yuqaddiru taqdîran, yang berarti
menaksir atau mengira. Dalam dalam akidah Islam biasanya kata taqdir
disandingkan dengan kata qadâ‘ dan lebih sering disebut qadâ‘ dan qadar
M.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa takdir terambil dari kata qaddara,
berasal
dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau
ukuran. Dicontohkan jika dikatakan bahwa Allah telah menakdirkan demikian, maka
berarti Allah telah memberi kadar, ukuran, atau batas tertentu dalam diri,
sifat, atau kemampuan maksimal makhlukNya
KH
Taib Thahir setelah melihat penggunaan kata qada’ dalam Al-Qur’an mengartikan
qada’ dengan hukum yang ditetapkan tuhan sejak zaman azali mengenai segala apa
yang akan terjadi. Qadar diartikan dengan merancang dan merencanakan sesuatu
dengan perhitungan paling mendalam dan teliti.
Konsep Free Will dan Predestination Dalam Perspektif Aliran Teologi
Dalam
konteks teologi islam, kebebasan manusia merupakan ideologi yang dianut oleh
paham Qadariyah yang memberikan pandangan hanya manusialah yang menciptakan
perbuatannya sendiri tanpa ada intervensi dari pihak luar termasuk Tuhan
sendiri. Posisi Tuhan hanya terbatas pada penciptaan sifat/daya kebebasan
manusia tersebut.
Hal
ini berbanding terbalik dengan Jabariyah, Menurut
paham Jabariyah, perbuatan
manusia itu bukan diciptakan oleh manusia. Melainkan oleh Allah subhanahu wa
ta’ala. Bagi kelompok ini, manusia tidak bisa berbuat apa-apa, manusia
tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perbuatan. Manusia hanyalah
dikendalikan Allah subhanahu wa ta’ala . Maksudnya bahwa setiap perbuatan
yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan
oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan
dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan.
Aliran Mu’tazilah
Kaum
Mu’tazilah, karena dalam sistem teologi mereka manusia dipandang mempunyai daya
yang besar lagi bebas, sudah barang tentu manganut paham qadariah atau free will.
Dan memang mereka juga disebut kaum Qadariah. Begitupula keterangan dan
tulisan-tulisan para pemuka Mu’tazilah banyak mengandung paham kebebasan dan
berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya.Al Juba’i umpamanya,
menerangkan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatnnya. manusia
berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kemauannya
sendiri. Dan daya (al istita’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat
dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Pendapat yang sama diberikan pula
oleh “abd al-Jabbar. Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri
manusia. Manusia adalah manusia yang dapat memilih.
Untuk
memperkuat paham di atas, kaum Mu’tazilah membawa argumen-argumen rasional dan
ayat-ayat al-Qur’an.Ringkasan argumen-argumen rasional yang dimajukan oleh ‘Abd
al-Jabbar umpamanya, adalah sebagai berikut. Manusia dalam berterima kasih atas
kebaikan-kebaikan yang diterimanya, menyatakan terima kasihnya kepada manusia
yang berbuat kebaikan itu. Demikian pula dalam melahirkan perasaan tidak senang
atas perbuatan-perbuatan tidak baik yang diterimanya, manusia menyatakan rasa
tidak senangnya kepada orang yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tidak baik
itu. Sekiranya perbuatan-perbuatan baik atau buruk adalah perbuatan Tuhan dan
bukan perbuatan manusia, tentunya rasa terima kasih dan rasa tidak senang itu
akan ditujukan manusia kepada Tuhan dan bukan kepada manusia.
Aliran Asy’ariah
Menurut
aliran Asy’ariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia
(ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah, tidak dapat
diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Hal ini ditegaskan al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban
berbuat dan yang terbaik bagi manusia. Dengan demikian aliran Asy’ariyah tidak
menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat bebuat sekehendak
hati-Nya terhadap makhluk. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, perbuatan
Tuhan bersifat tidak wajib (Ja’iz) dan tidak satu pun darinya yang mempunyai
sifat wajib.
Karena percaya kepada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ariyah menerima faham pemberian beban di luar kemampuan manusia, Asya’ari sendiri dengan tegas mengatakan dalam al-Luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tidak dapat dipikul pada manusia. Menurut faham Asy’ariah perbuatan manusia pada hakitkatnya adalah perrbuatan tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan bukan dengan daya manusia, ditinjau dari sudut faham ini, pemberian beban yang tidak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan bagi aliran Asy’ariah, manusia dapat melaksanakan beban yang tak terpikul karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya Tuhan yang tak terbatas.
Aliran Maturidiyah
Mengenai
perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand
dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan
batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mereka berpendapat bahwa
perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian
Tuhan berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian halnya dengan
pengiriman Rasul Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh al-Bazdawi, bahwa Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah orang yang telah berbuat kebaikan. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh al-Bazdawi, bahwa Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah orang yang telah berbuat kebaikan. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
Aliran Syi’ah
Al-Asy’ari
dalam bukunya, Maqaalaat al-Islamiyyiin wa ikhtilaf al-Mushallin, menyebutkan
beberapa pendapat Syi’ah Rafidhah tentang masalah perbuatan manusia. Sediktinya
ada tiga pendapat yang berbeda-beda. Pertama; Ialah para
pengikut Hisyam bin al-Hakam al-Rafidhi, di mana mereka beranggapan bahwa
perbuatan seorang hamba Allah itu diciptakanNYa. Ja’far bin Harb menceritakan,
bawa Hisyam bin al-Hakam menyatakan: “sebenarnya dari satu segi perbuatan
manusia ini merupakan daya (ikhtiyar) manusia itu sendiri, karena dia
itulah yang menghendaki dan mengusahakannya, tetapi dari segi lain perbuatan
manusia ini pun merupakan sesuatu yang dipaksakan Allah terhadap dirinya,
karena perbuatan manusia itu sebenarnya mustahil terjadi selain dengan adanya
sebab yang menggerakkan ataupun mendorong kearah terjadinya perbuatan manusia
tersebut. Pendapatnya ini mirip dengan aliran Maturidiyah. Karenanya,
Fazlur Rahman menyebut ide Hisyam bin Hakam ini sebanding dengan pandangan
Maturidi. Kedua; kelompok ini beranggapan bahwa manusia
itu tidak bebas dan selalu dalam keadaan terpaksa, sebagaimana anggapan para
pengikut aliran jahmiyyah, tetapi manusia itu pun tidak boleh hanya
berserah diri saja, sebagaimana anggapan para pengikut aliran Mu’tazilah. Ketiga;
yang ketiga ini beranggapan bahwa perbuatan hamba Allah itu bukan
diciptakan Allah. Yang beranggapan seperti ini, kata Asy’ari, muncul dari
mereka yang memisahkan diri serta menetapkan adanya kepemimpinan.Yang terakhir
ini memiliki kemiripan dengan teologi Mu’tazilah
Pandangan Ibnu Taimiyah
Ibnu
Taimiyah adalah tokoh refresentatif Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Karenanya,
Bagi Ibnu Taimiyah, baik Asy’ariyah maupun Mu’tazilah telah melakukan
kekeliruan dan menyalahi mayoritas muslim. Asy’ariyah hanya menegaskan irada
(kehendak Allah), tetapi tidak menegaskan kebijaksanannya. Asy’ariyah hanya
menegaskan segala kehendak Allah tanpa menegaskan kemurahan, cinta dan ikhlas.
Begitu juga dalam perbuatan, mereka [Asy’ariyah dan filosof] menganggap semua
makhluk sama di hadapanNya, tetapi tidak membedakan antara kehendak, cinta dan
syukur.
Mereka
sebenarnya mengambil posisi yang jauh lebih buruk daripada Mu’tazilah dan
lainnya yang mendukung qadar (free will). Sebenarnya, orang-orang
pendukung free will ini menyertakan kepentingan yang besar terhadap
perintah dan larangan, janji dan ancaman, ta’at pada Allah dan RasulNya, dan
menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat buruk. Namun, Mu’tazilah tersesat
dalam masalah qadar. Mereka salah mempercayai bahwa jika mereka
menegaskan kehendak kreatif Tuhan yang universal, segala kekuasaan dan
kreativitasNya terhadap segala sesuatu itu berakibat penghinaan yang tak bisa
disetujui terhadap keadilan dan kebijaksananNya. Mereka telah melakukan
kesalahan dalam keyakinan.
1 komentar:
kopas buat bahan makalh sobat....tolong kunjungann baliknya ya di blog ku....
Post a Comment