Posted by Jhon Frie. Category:
ARSITEKTUR
Ada apa dengan arsitektur Melayu? Adakah arsitektur Melayu tersebut?
Jika ada, dimana kita untuk bisa membaca dan melihatnya? Itulah di
antara sederet pertanyaan yang mungkin bisa digayutkan jika berbicara
arsitektur Melayu. Kenapa? Karena minimnya tulisan-tulisan yang
membahasnya. Sangat sukar mencari referensinya. Bisa dihitung dengan
jari buku-buku dan tulisan mengenainya.
Keadaan ini tentu sangat kontras dengan arsitektur Barat, atau lebih tepatnya arsitektur Eropa. Sangat banyak buku-buku dan referensi mengenainya, dan termasuk mata kuliah wajib bagi mahasiswa arsitektur di Tanah Air.
Akibatnya, secara perlahan dan pasti arsitektur Melayu semakin tergerus dan menghilang. Arsitektur Barat yang diidentikkan dengan kemajuan dan simbol modernitas semakin mengambil alih dan mewarnai corak dan bentuk bangunan di Tanah Air, termasuk di Riau. Yang lebih memprihatinkan, gedung-gedung pemerintahan dan badan usaha milik daerah (BUMD) yang semestinya dapat menjadi benteng terakhir dalam menjaga ciri khas kemelayuan juga semakin terkikis dan mengalami erosi.
Dalam konteks ini mungkin kita bisa belajar dari Bali. Hampir seluruh bangunan pemerintah dan termasuk bangunan milik individu dan swasta bercirikan arsitektur Bali. Kenapa ini bisa wujud? Karena adanya tekat dan komitmen tinggi pemerintah Bali untuk menjaga nilai-nilai dan tradisi tempatan. Lebih menarik lagi, bangunan-bangunan komersial, pemerintah maupun milik individu ketinggiannnya tidak boleh melebihi tinggi Pura (baca: pure) yang merupakan tempat ibadah masyarakat Bali. Bali juga memiliki begitu banyak Desa Adat, yang mencirikan nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal masyarakat Bali. Coba bandingkan dengan situasi kekinian di Bumi Lancang Kuning, Provinsi Riau adakah kampong Melayu atau kampong tradisi atau kampong adat di Pekanbaru misalnya?
Sejatinya, arsitektur Nusantara yang begitu banyak dan beragam, tersebar dari Sabang hingga Merauke, Papua, termasuk arsitektur Melayu memiliki beberapa keunggulan yang tidak dimiliki aristektur Barat. Permasalahannya, arsitektur Nusantara harus dipelajari dan digali, karena minimnya tulisan-tulisan dan dokumen mengenainya. Dia ada, tapi masih tersimpan dan tersembunyi. Berbeda dengan aristektur Barat yang begitu banyak contoh dan buku-bukunya. Sangat mudah dan praktis, tinggal copy paste saja.
Apakah kita siap dan bersungguh-sungguh untuk mempelajari dan menggalinya? Apakah masih ada kegairahan untuk mengembalikan kejayaan Melayu tempo dulu yang diagung-agungkan? Maukah kita membongkar ketololan dan kebodohan kita? Dalam seminar nasional Arsitektur Nusantara dengan tema “Ruang Bersama untuk Kehidupan yang Lebih Baik” di Universitas Brawijaya, Malang yang saya hadir mempresentasikan makalah mewakili Universitas Islam Riau, terdapat hal menarik apa yang disampaikan Prof Josef Prijotomo dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya sebagai keynote speaker.
Beliau menyampaikan makalah dengan tema “Membongkar Ketololan dan Kemalasan dalam Menuju Indonesia”. Inti dari pemaparanya adalah bahwa arsitektur Nusantara sebenarnya setanding dengan arsitektur Barat.Beliau memaparkan 12 perbedaan arsitektur Nusantara berbanding arsitektur Barat. Walaupun apa yang Beliau sampaikan, mungkin tidak sepenuhnya benar yang dapat lagi dipersoalkan kepatutannya. Namun yang jelas bahwa arsitektur Nusantara ada content-nya dan bernilai tinggi, yang layak untuk disandingkan dengan arsitektur Barat.
12 Perbedaan Arsitektur Nusantara dan Eropa
Pertama, arsitektur Nusantara itu arsitektur dua musim dan arsitektur Eropa itu arsitektur empat musim. Kedua, arsitektur Nusantara melibatkan lautan dan daratan, sedang arsitektur Eropa hanya melibatkan daratan saja. Ketiga, arsitektur Nusantara tidak mematikan karya arsitektur anak-bangsanya, sedang arsitektur Eropa mematikan arsitektur anak-benua/bangsanya. Benua Eropa terbentuk dari demikian banyak bahasa anak-benuanya, tetapi dalam arsitekturnya hanya menggunakan ‘bahasa latin’ arsitektur saja.
Keempat, arsitektur Nusantara adalah arsitektur pernaungan dan arsitektur Eropa adalah arsitektur perlindungan. Kelima, arsitektur tradisional dilekatkan pada kebudayaan sedang arsitektur Eropa dilekatkan pada seni dan ilmu. Keenam, arsitektur Nusantara adalah arsitektur kayu/organik sedang arsitektur Eropa adalah arsitektur batu/anorganik. Ketujuh, arsitektur Nusantara bersolek di (tampang) luar dan arsitektur Eropa bersolek di (tampang) dalam. Kedelapan, arsitektur Nusantara berkonstruksi tanggap gempa sedang arsitektur Eropa berkonstruksi tanpa gempa.
Kesembilan, arsitektur Nusantara menjadikan perapian utamanya untuk mengawetkan bahan bangunan organiknya, sedang arsitektur Eropa guna menghangatkan ruangan dan menjadikan galih (core) dari huniannya. Kesepuluh, arsitektur arsitektur Nusantara mengkonsepkan pelestarian dengan ketergantian, sedang arsitektur Eropa mengonsepkannya sebagai menjaga dan merawat. Kesebelas, arsitektur Nusantara mengkonsepkan kesementaraan sedang arsitektur Eropa mengkonsepkan keabadian. Keduabelas, arsitektur Nusantara adalah arsitektur kami/kita, sedangkan arsitektur Eropa adalah arsitektur ’aku’.
Di akhir pemaparannya Prof Josef dengan sedikit geram menyimpulkan bahwa pertama, sangat jelas, arsitektur Nusantara berbeda dari arsitektur Eropa; dan karena itu arsitektur Nusantara adalah wilayah pengetahuan yang tidak (mau) diketahui, dan arsitektur Eropa adalah wilayah pengetahuan yang wajib diketahui dan dituruti.
Kedua, arsitektur Nusantara berbeda dari arsitektur Eropa; dan karena itu arsitektur Nusantara dibiarkan remuk di perdesaan, sedang arsitektur Eropa diperjuangkan berdarah-darah untuk dipertahankan keberadaannya .
Ketiga, arsitektur Nusantara berbeda dari arsitektur Eropa; dan karena itu arsitektur Nusantara masih harus dipelajari agar bisa di-masakini-kan, sedang arsitektur Eropa tinggal di-copas (copy paste) belaka.
Keempat, arsitektur Nusantara berbeda dari arsitektur Eropa; dan karena itu arsitektur Nusantara itu adalah ’bicycle shed’ sedang arsitektur Eropa adalah ’Lincoln Cathedral’, kalau meminjam Nikolaus Pevsner dalam membedakan arsitektur dari bangunan.
Kelima, arsitektur Nusantara berbeda dari arsitektur Eropa; dan karena itu arsitektur Nusantara senantiasa dipertanyakan kemampuannya untuk mengkini, sedang arsitektur Eropa tak pernah dipertanyakan ketidaktepatannya bagi Indonesia (masakini).
Kesimpulan Beliau: arsitektur Nusantara itu adalah liyan bagi arsitektur Eropa; arsitektur Nusantara itu adalah arsitektur yang lain (the other) dari arsitektur Eropa. Arsitektur Nusantara itu setara dengan arsitektur Eropa Klasik..
Keadaan ini tentu sangat kontras dengan arsitektur Barat, atau lebih tepatnya arsitektur Eropa. Sangat banyak buku-buku dan referensi mengenainya, dan termasuk mata kuliah wajib bagi mahasiswa arsitektur di Tanah Air.
Akibatnya, secara perlahan dan pasti arsitektur Melayu semakin tergerus dan menghilang. Arsitektur Barat yang diidentikkan dengan kemajuan dan simbol modernitas semakin mengambil alih dan mewarnai corak dan bentuk bangunan di Tanah Air, termasuk di Riau. Yang lebih memprihatinkan, gedung-gedung pemerintahan dan badan usaha milik daerah (BUMD) yang semestinya dapat menjadi benteng terakhir dalam menjaga ciri khas kemelayuan juga semakin terkikis dan mengalami erosi.
Dalam konteks ini mungkin kita bisa belajar dari Bali. Hampir seluruh bangunan pemerintah dan termasuk bangunan milik individu dan swasta bercirikan arsitektur Bali. Kenapa ini bisa wujud? Karena adanya tekat dan komitmen tinggi pemerintah Bali untuk menjaga nilai-nilai dan tradisi tempatan. Lebih menarik lagi, bangunan-bangunan komersial, pemerintah maupun milik individu ketinggiannnya tidak boleh melebihi tinggi Pura (baca: pure) yang merupakan tempat ibadah masyarakat Bali. Bali juga memiliki begitu banyak Desa Adat, yang mencirikan nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal masyarakat Bali. Coba bandingkan dengan situasi kekinian di Bumi Lancang Kuning, Provinsi Riau adakah kampong Melayu atau kampong tradisi atau kampong adat di Pekanbaru misalnya?
Sejatinya, arsitektur Nusantara yang begitu banyak dan beragam, tersebar dari Sabang hingga Merauke, Papua, termasuk arsitektur Melayu memiliki beberapa keunggulan yang tidak dimiliki aristektur Barat. Permasalahannya, arsitektur Nusantara harus dipelajari dan digali, karena minimnya tulisan-tulisan dan dokumen mengenainya. Dia ada, tapi masih tersimpan dan tersembunyi. Berbeda dengan aristektur Barat yang begitu banyak contoh dan buku-bukunya. Sangat mudah dan praktis, tinggal copy paste saja.
Apakah kita siap dan bersungguh-sungguh untuk mempelajari dan menggalinya? Apakah masih ada kegairahan untuk mengembalikan kejayaan Melayu tempo dulu yang diagung-agungkan? Maukah kita membongkar ketololan dan kebodohan kita? Dalam seminar nasional Arsitektur Nusantara dengan tema “Ruang Bersama untuk Kehidupan yang Lebih Baik” di Universitas Brawijaya, Malang yang saya hadir mempresentasikan makalah mewakili Universitas Islam Riau, terdapat hal menarik apa yang disampaikan Prof Josef Prijotomo dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya sebagai keynote speaker.
Beliau menyampaikan makalah dengan tema “Membongkar Ketololan dan Kemalasan dalam Menuju Indonesia”. Inti dari pemaparanya adalah bahwa arsitektur Nusantara sebenarnya setanding dengan arsitektur Barat.Beliau memaparkan 12 perbedaan arsitektur Nusantara berbanding arsitektur Barat. Walaupun apa yang Beliau sampaikan, mungkin tidak sepenuhnya benar yang dapat lagi dipersoalkan kepatutannya. Namun yang jelas bahwa arsitektur Nusantara ada content-nya dan bernilai tinggi, yang layak untuk disandingkan dengan arsitektur Barat.
12 Perbedaan Arsitektur Nusantara dan Eropa
Pertama, arsitektur Nusantara itu arsitektur dua musim dan arsitektur Eropa itu arsitektur empat musim. Kedua, arsitektur Nusantara melibatkan lautan dan daratan, sedang arsitektur Eropa hanya melibatkan daratan saja. Ketiga, arsitektur Nusantara tidak mematikan karya arsitektur anak-bangsanya, sedang arsitektur Eropa mematikan arsitektur anak-benua/bangsanya. Benua Eropa terbentuk dari demikian banyak bahasa anak-benuanya, tetapi dalam arsitekturnya hanya menggunakan ‘bahasa latin’ arsitektur saja.
Keempat, arsitektur Nusantara adalah arsitektur pernaungan dan arsitektur Eropa adalah arsitektur perlindungan. Kelima, arsitektur tradisional dilekatkan pada kebudayaan sedang arsitektur Eropa dilekatkan pada seni dan ilmu. Keenam, arsitektur Nusantara adalah arsitektur kayu/organik sedang arsitektur Eropa adalah arsitektur batu/anorganik. Ketujuh, arsitektur Nusantara bersolek di (tampang) luar dan arsitektur Eropa bersolek di (tampang) dalam. Kedelapan, arsitektur Nusantara berkonstruksi tanggap gempa sedang arsitektur Eropa berkonstruksi tanpa gempa.
Kesembilan, arsitektur Nusantara menjadikan perapian utamanya untuk mengawetkan bahan bangunan organiknya, sedang arsitektur Eropa guna menghangatkan ruangan dan menjadikan galih (core) dari huniannya. Kesepuluh, arsitektur arsitektur Nusantara mengkonsepkan pelestarian dengan ketergantian, sedang arsitektur Eropa mengonsepkannya sebagai menjaga dan merawat. Kesebelas, arsitektur Nusantara mengkonsepkan kesementaraan sedang arsitektur Eropa mengkonsepkan keabadian. Keduabelas, arsitektur Nusantara adalah arsitektur kami/kita, sedangkan arsitektur Eropa adalah arsitektur ’aku’.
Di akhir pemaparannya Prof Josef dengan sedikit geram menyimpulkan bahwa pertama, sangat jelas, arsitektur Nusantara berbeda dari arsitektur Eropa; dan karena itu arsitektur Nusantara adalah wilayah pengetahuan yang tidak (mau) diketahui, dan arsitektur Eropa adalah wilayah pengetahuan yang wajib diketahui dan dituruti.
Kedua, arsitektur Nusantara berbeda dari arsitektur Eropa; dan karena itu arsitektur Nusantara dibiarkan remuk di perdesaan, sedang arsitektur Eropa diperjuangkan berdarah-darah untuk dipertahankan keberadaannya .
Ketiga, arsitektur Nusantara berbeda dari arsitektur Eropa; dan karena itu arsitektur Nusantara masih harus dipelajari agar bisa di-masakini-kan, sedang arsitektur Eropa tinggal di-copas (copy paste) belaka.
Keempat, arsitektur Nusantara berbeda dari arsitektur Eropa; dan karena itu arsitektur Nusantara itu adalah ’bicycle shed’ sedang arsitektur Eropa adalah ’Lincoln Cathedral’, kalau meminjam Nikolaus Pevsner dalam membedakan arsitektur dari bangunan.
Kelima, arsitektur Nusantara berbeda dari arsitektur Eropa; dan karena itu arsitektur Nusantara senantiasa dipertanyakan kemampuannya untuk mengkini, sedang arsitektur Eropa tak pernah dipertanyakan ketidaktepatannya bagi Indonesia (masakini).
Kesimpulan Beliau: arsitektur Nusantara itu adalah liyan bagi arsitektur Eropa; arsitektur Nusantara itu adalah arsitektur yang lain (the other) dari arsitektur Eropa. Arsitektur Nusantara itu setara dengan arsitektur Eropa Klasik..
Apriyan D Rakhmat
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik UIR
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik UIR
1 komentar:
Mantaf...
Post a Comment