Posted by Jhon Frie. Category:
ARSITEKTUR
Menurut Buchanan, sebagaimana dikutip Yuswadi
Saliya (2003), ada tiga hal
yang dapat dipakai sebagai rujukan dalam mengarahkan perhatian dalam kegiatan
merancang/desain. Adapun ketiga hal tersebut adalah logos yang merupakan
landasan
pemahaman yang bersumber dari ranah teknologi, kedua adalah ethos, yang
merupakan
unsur pembentuk karakter, dan ketiga adalah pathos, sebagai unsur yang
memberikan ruh
ke dalam desain. Lebih lanjut Buchanan menegaskan bahwa desain membutuhkan
logos,
sebagai landasan teoretisnya, ethos sebagai landasan eksistensialnya, dan
pathos sebagai
unsur kejiwaan yang memberikan dimensi emosional.
Logos merujuk kepada konsistensi teoretis yang diujudkan kedalam unsur-unsurarsitektur, seperti ketepatan pemilihan sistem struktur dan pemilihan material, kesesuaian dimensi dan beban, besaran ruang dengan jalur sirkulasi di dalam bangunan, juga bentuk tinggi-rendah dan lebar-sempitnya atap. Ethos, seperti kritik Yuswadi Saliya terhadap karya rancang bangun para arsitek kiwari, dalam keputusan perolehan bentuk belum memiliki landasan eksistensial yang tegas, dan tidak memiliki karakter yang kuat.
Gubahan bentuk yang lahir belum melahirkan Gestalt yang utuh, alhasil hanya sekedar lahir dari tradisi geometri yang masih banal, dan belum terolah. Artinya, getaran emosional yang sering disebut di dalam teori arsitektur Barat sebagai style/langgam belum dapat dikenali. Hal ini, sedikit banyaknya, memang terkait dengan lembaga pendidikannya yang tak kunjung mampu merumuskan cita-citanya, kurang percaya diri (assertive), hingga tradisinya pun tak kunjung terbentuk (Saliya, 2003)
Globalisasi seperti yang disampaikan di awal tulisan, memberikan dampak positif dan negatif. Adalah sesuatu hal yang pasti bahwa, dengan munculnya kemajuan perkembangan teknologi informasi, pergeseran bahasa-sistem analog ke digital, ternyata telah mengguncangkan kemapanan bentuk yang selama ini dijadikan sebagai batu landasan kerja, tujuan akhir yang mudah dicirikan. Kini, dengan adanya dinamika yang cepat, bentuk menjadi sesuatu yang nisbi, dan tidak lagi mewakili gagasan keabadian, bentuk bukan lagi suatu terminal (tujuan akhir). Dapat dipastikan adalah hasilnya adalah ke-serba-tidak-pasti-an, yang masih perlu direspons dengan fleksibilitas yang tinggi. Sebagai konsekuensinya pendekatan-pendekatan dalam perencanaan/perancangan juga harus mempertimbangan dinamika tersebut dan bahkan ambivalensi dalam praktekpraktek rancang bangun (Ipsen, 1999).
Dalam konteks urban (buldan), hal senada
diungkapkan pula oleh arsitek pemikir Belanda Rem Koolhaas (1990) bahwa
dikarenakan
dinamika dan kompleksitas kehidupan berkota, desain arsitektur dan urban yang
hanya
terfokus kepada kaidah-kaidah komposisi dan sistem spasial tanpa memberikan
solusi
bagi persoalan nyata adalah sia-sia. Menurutnya, desain arsitektur dan urban
tidak lain
merupakan sebuah jalinan simulasi teatrikal dari ketidakpastian sendiri. Selain
itu, desain
arsitektur dan desan urban kontemporer tidak bisa hanya berorientasi kepada
geometri
dan struktur yang rigid, tetapi harus membuka peluang dan penafsiran baru dalam
upaya
pemanfaatan aset perkotaan secara berkelanjutan (Martokusumo, 2005).
Jadi, pertimbangan dalam pemilihan (mendesain) bentuk tampaknya akan
membutuhkan pemikiran dan perenungan yang lebih panjang. Dalam ranah logos,
pertimbangan tersebut menjadi relatif lebih mudah, misalnya pertimbangan iklim
(tropis),
fungsi, dan pilihan terhadap material/bahan dan sistem struktur dan konstruksi
bangunan.
Mengapa? Karena pada umumnya telah berupa standar atau rumusan baku yang
objektif.
Sementara pertimbangan sosio-kultural sebagai bagian pembentuk ethos menjadi
semakin
rumit. Selanjutnya pathos, sebagai unsur pemberi ruh dapat membangkitkan
keakraban
atau malahan justru keasingan emosional, apalagi dalam konteks
perbuahan/dinamika
sosial yang cepat.
Dapat diamati kemudian, bahwa geometri itu ternyata
membutuhkan
hubungan dengan tradisi yang bergumul dengan kehidupan sehari-hari yang lebih
manusiawi. Artinya, desain itu harus menyentuh bumi, tidak lagi sekedar
mengawangawang,
seperti kebanyakan kelemahan desain arsitektur kontemporer, yang lebih kepada
pemuasan diri (arsitek) sendiri. Dalam kegiatan rancang bangun/desain
arsitektur kiwari
geometri -sebagai bagian dari arsitektur dan juga sebaliknya- digunakan secara
banal,
karena selain tidak banyak arsitektur yang mengindahkannya, lebih banyak
arsitektur
yang dengan semena-mena menaklukannya; serta hanya sedikit arsitektur yang
mampu
mengendalikannya (Saliya, 2003).
Perkembangan selanjutnya, dipastikan desain arsitektur/seni bangunan kontemporer tidak dapat lepas dari warna isu-isu sosial-politik (misalnya, isu keberlanjutan, partisipatoris/populis, keberpihakan, universal design/design for all/barrier free design dll.) bahkan juga gender dan telaah-telaah pasca-kolonial. Artinya para arsitek dan perancang tidak dapat memalingkan mukanya dari persoalan-persoalan tersebut. Kecenderungan arsitektur zaman kiwari ini adalah “bentuk selesai tanpa menyertakan penghuni”, sebagai sebuah bangunan yang devoid of human being, yang mengesankan keinginan untuk mencapai nilai puitis yang kekal, dari diktum l’art pour l’art. Bagaimana pun bangunan/karya rancang bangun harus menyertakan penghuninya (Saliya, 2003).
Kembali kepada paradigma desain sebagai suatu disiplin pun harus mampu memperkaya kriteria dan wawasan kemanusiannya. Tendensi kepada sebuah gerakan elitis, memang sulit dan tidak dapat ditampik, dimana justru para arsitek justru sengaja membentuk enclave sendiri di tengah-tengah masyarakatnya. Jika seni bangunan kontemporer menjadi wacana, maka kritik tersebut perlu mendapat perhatian serius!
Kriteria desain yang menyertakan kemajuan-kemajuan wawasan seperti itulah
yang barangkali nantinya akan menyelamatkan profesi arsitek(tur) dari berbagai
tuduhan
dan ketidakadilan dan diskriminasi. Kenyataan tuduhan perusak lingkungan,
pencipta
segregasi, atau profesi yang tidak lebih parasit dari masyarakat perlu
dibuktikan dengan
karya rancang bangunan yang lebih humanis, membumi dan ramah lingkungan.
Nampaknya, tradisi geometri yang Platonis perlu digeser menjadi lebih humanis.
Nilai nilai
puitis harus diberi pathos citarasa lokal, agar lebih berkarakter, dan berdiri
tegak
berdasarkan ethos kehidupan yang lebih nyata, lebih membumi, yang turut
menjelaskan
kedudukan seseorang di tengah masyarakatnya, tanpa menyimpang dari kebenaran
logika.
0 komentar:
Post a Comment