Posted by Jhon Frie. Category:
TEOLOGI ISLAM
Teologi dari segi etimologi berasal
dari bahsa yunani yaitu theologia. Yang terdiri dari kata theos yang
berarti tuhan atau dewa, dan logos yang artinya ilmu. Sehingga teologi adalah
pengetahuan ketuhanan . menurut William L. Resse, Teologi berasal dari bahasa
Inggris yaitu theology yang artinya discourse or reason concerning
god (diskursus atau pemikiran tentang tuhan) dengan kata-kata ini Reese
lebih jauh mengatakan, “teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang
kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan. Gove
mengatkan bahwa teologi merupakan penjelasan tentang keimanan, perbuatan, dan
pengalaman agama secara rasional
Secara terminologi teologi Islam atau yang disebut juga Ilmu Kalam adalah ilmu yang
membahas ushul sebagai suatu aqidah tentang keEsaan Allah swt, wujud dan
sifat-sifat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan sebagainya yang diperkuat
dengan dalil-dalil aqal dan meyakinkan.3 Teologi lebih luas pandangannya dari
pada fikih. Kalau fikih membahas soal haram dan halal, teologi di samping soal
ke Tuhan-an membahas pula soal iman dan kufur; siapa yang sebenarnya Muslim dan
masih tetap dalam Islam, dan siapa yang sebenarnya kafir dan telah keluar dari
Islam. Termasuk dalam pembahasan itu soal Muslim yang mengerjakan hal-hal yang
haram dan soal kafir yang mengerjakan hal-hal yang baik. Dengan demikian
teologi membahas soal-soal dasar dan soal pokok dan bukan soal furu’ atau
cabang dan ranting yang menjadi pembahasan fikih. Dengan demikian tinjauan
teologi akan memberi pandangan yang lebih lapang dan sikap yang lebih toleran
dari tinjauan hukum atau fikih.4
Latar Belakang Timbulnya Persoalan Teologi
Menurut Harun Nasution “Permasalahan yang pertama
muncul dalam Islam bukanlah permasalahan yang berbasiskan pada persoalan
teologi namun, permasalahan politik”. Permasalahan politik tersebut dalam
perjalanannya beranjak menjadi permasalahan Teologi.
v Situasi yang kacau
Dimulai dengan terbunuhnya Sayidina Utsman Bin Affan,
Kholifah ke III pada tahun 35 H/ 656 M oleh suatu kelompok pemberontak yang
datang dari perbagai daerah kekhalifahan Islam.
Kejadian ini diyakini tercipta karena adanya seorang
penyusup dan penghasut yakni Abdullah bin Saba’, seorang tokoh Yahudi yang
masuk Islam, dan merasa marah dan geram karena permintaannya terhadap suatu
jabatan ditolak mentah- mentah oleh Umar bin Khottob. Sakit hatinya ditumpahkan
dengan membentuk dan mempengaruhi serta menghasut beberapa kelompok masyarakat
agar bersifat opposan dan membangkang terhadap kekhalifahan Utsman dengan
menonjolkan issu nepotisme dan korupsi pemerintahan Khalifah Utsman
kepermukaan, satu tuduhan yang mengada- ada, diantaranya dengan meng- ekpose
bukti- bukti diangkatnya beberapa kerabat dekat beliau sebagai pejabat pemerintahan,
termasuk dengan ditetapkannya Mu’awiyah sebagai gubernur di Damaskus, Syria
(Syam, sebutan waktu itu). Yang jadi masalah dan menjadi fitnah terbesar adalah
bahwa mereka itu mengatas namakan diri mereka sebagai Pendukung Ali (bahasa
Arab: “Syi’ah Ali”— dikemudian hari disingkat: Syi’ah), dengan tuntutan
agar Utsman yang saat itu sudah berumur 82 tahun, harus segera lengser dan
digantikan dengan Ali, yang berarti mereka secara sengaja membenturkan dan
mengadu domba antara Ali dan Utsman bin Affan, dua orang sahabat setia
Nabi sekaligus sebagai menantu beliau. Inilah muslihat terbesar sepanjang
sejarah Islam, sebuah kuda troya
dari orang- orang Yahudi yang sengaja disusupkan ketengah kaum muslimin untuk
menghancurkan kaum muslimin dengan memecah belahnya dan sama sekali tidak
ada hubungannya dengan kepentingan S. Ali..
Gerakan oposisi ini mendapat dukungan beberapa aneka
kelompok masyarakat muslim baru yang berasal dari beberapa daerah kekhalifahan
Islam waktu itu yang telah meluas sampai benua Afrika dan Afganistan. Sedang
para sahabat nabi yang setia pada saat kejadian berada jauh dan tersebar luas
diseluruh daerah Islam, jauh dari Madinah sebagai pusat pemerintahan. Kelompok
pembunuh ini nanti hanya satu nama yang dapat diidentifikasi, namanya adalah : Al- Ghofiqi, dan karena luas dan
tersebarnya asal suku kebangsaan para pemberontak ini, maka implikasi politik
atas penanganan yang sembrono akan menjadi sangat luas dan berbahaya.
Beberapa saat kemudian Sayidina.Ali terpilih oleh
penduduk Madinah sebagai Khalifah ke IV untuk mengisi kekosongan agar
kekhalifahan Islam tidak terlalu lama mengalami vacuum tanpa pemimpin. Namun
ternyata Mu’awiyah sebagai kerabat S. Utsman yang merasa berhak menuntut balas
atas kematian S.Utsman, saudaranya itu sebagaimana adat istiadat Arab yang
sangat melindungi kerabatnya, tidak mau membai’at S. Ali sebelum S.Ali membekuk
semua pembunuh S.Utsman. Dan ini tentu sulit dilakukan Oleh Ali yang baru
berkuasa, karena asal suku kebangsaan para pemberontak ini tersebar luas dari
seluruh wilayah kekuasaan Islam.
v 2Pertempuran Shiffiin (37 H/ 657 M)
Akhirnya karena S. Ali tak mampu membekuk pembunuh S.
Utsman dalam waktu yang ditentukan oleh Mu’awiyah, maka Mu’awiyahpun
memproklamirkan diri sebagai Khalifah yang berkedudukan di Damaskus, Syria.
Pemerintahan Madinah yang kemudian dipindahkan ke Kufah menganggap ini adalah
suatu tindakan pemberontakan (bughot)
terhadap pemerintahan yang sah – sesuai Qur’an Surat Al- Hujurot yang harus
diperangi. Namun demikian S.Ali masih berusaha melakukan islah, diplomasi dan negosiasi agar
perpecahan tak berlanjut, namun rupanya Mu’awiyah merasa cukup kuat dan menolak
segala islah dan diplomasi Ali. Pertempuran pun pecah di sebuah tempat bernama
Shiffin dipinggiran sungai Euphrat, dengan melibatkan 90.000 tentara pasukan
Ali melawan 120.000 tentara pasukan Mu’awiyah. Pertempuran ini sebetulnya bukan
merupakan pertempuran pertama antara sesama muslim, karena sebelumnya telah
terjadi pula pertempuran dan perang saudara sesama muslim. Yakni setahun
sebelumnya, tepatnya pada tahun 36 H/ 656 di Basrah, terjadi peperangan Jamal antara tentara
dibawah pimpinan A’isyah istri Nabi yang sedang berusaha mencari dan menangkap
para pembunuh Utsman, melawan tentara dibawah Ali. Sebabnya adalah hasutan
Abdullah bin Saba’ juga, yang mampu membangkitkan luka lama antara Ali dan
A’isyah saat terjadi Haditsul Ifki,
yang kisah dramatisnya tidak akan dikisahkan disini, suatu peperangan sia- sia
yang mengorbankan lebih 10.000 tentara kaum muslimin yang bersaudara.
v Tahkim (Badan Arbitrase)
Pertempuran Shiffin pun berkecamuk dengan hebat dan
segera nampak kemenangan sudah diambang pintu bagi pihak Ali. Korban telah
jatuh dari kedua belah pihak. Dari pihak Ali 25.000 tentara telah terbunuh
sedang dari pihak Mu’awiyah 45.000 tentara telah tewas. Mu’awiyahpun menyadari
hal itu dan segera melakukan siasat dengan mengangkat 500 copy Al-Qur’an pada
ujung- ujung tombak tentara mereka sebagai tanda mereka mau Islah secara
Qur’any. Pada awalnya Ali tak mempedulikan hal itu karena beliau tahu itu hanya
sekedar siasat licik dari Mu’awiyah, namun atas desakan para sahabat yang lain
(terutama dari kelompok cikal bakal khowarij), akhirnya Ali menyetujui Islah.
Kemudian diadakan kesepakatan agar masing masing
mengangkat seorang delegasi yang memiliki wewenang penuh untuk menentukan dan
mengambil keputusan final untuk menyelesaikan fitnah tersebut. Kesepakatan ini
disebut Tahkim
(Arbitrasse). Pihak Ali mengangkat Sahabat Abu Musa Al- Asy’ary yang jujur dan
lugu, ditemani oleh sahabat Abdullah bin Abbas, sedang pihak Mu’awiyah diwakili
oleh Sahabat Amr bin Ash, seorang ahli siasat yang ulung.Disaat inilah mulai
muncul ketidak puasan dari sejumlah kelompok tentara berjumlah kurang lebih
12.000 orang yang m,
sebelumnya pendukung setia Ali dari kabilah Bani
Hanifah dan Bani Tamim, yang menganggap S.Ali sudah tidak berhukum dengan
qur’an karena menerima tahkim karena menurut mereka Qur’an menyatakan bahwa
kaum bughot/ pemberontak harus diperangi, sampai mereka sadar kembali.
Mereka menganggap dengan menerima tahkim berarti Ali telah melanggar ayat:
“Waman lam yahkum bimaa anzalallohu fa’ulaaika humul Kaafiruun/ Dhoolimuun/
Faasiquun.” (Al- Ma’idah 44- 47)
Abu Musa Al’Asy’ary pun diterima dengan baik dan ramah
tamah oleh Amr bin Ash. Sahabat Abdullah bin Abbas sudah memperingatkan kepada
Abu Musa Al- Asy’ary agar hati- hati menghadapi sikap ramah tamah Amr bin Ash,
mungkin ada siasat yang sedang Amr persiapkan. Amr pun me- loby Abu Musa agar
lebih baik mereka memakzulkan/ melengserkan kedua- dua Khalifah tersebut yang
telah membuat kaum muslimin terbelah. Lebih baik mencari pemimpin lain yang
tidak tersangkut kasus fitnah besar tersebut atas dasar pemilihan secara
demokratis dari perwakilan yang ditunjuk (Ahlul Halli Wal- Aqdi). Rupanya
siasat ini termakan oleh Abu Musa yang tua dan jujur itu, maka merekapun
mempersiapkan sebuah pertemuan besar untuk mengumumkan hasil tahkim itu.
Kemudian pada hari pemakzulan ditentukan dan sejumlah besar perwakilan kaum muslimin
berkumpul di Dummatul Jandal
pada tanggal 21- Romadhon 37 H/ February- 658 M, secara bergantian Amr bin Ash
dan Abu Musa Al- Asy’ary nanti akan mengumumkan pemakzulan kedua Khalifah itu.
Dengan halus dan sopan Amr bin Ash mempersilahkan Abu Musa Al- Asy’ary yang
lebih tua agar mengumumkan pemakzulan Ali terlebih dulu sebagai penghormatan.
Siasat ini sungguh tidak disadari oleh Abu Musa yang lugu itu.Ia pun menerima
kehormatan mengumumkan lebih dulu pemakzulan Ali. Dia naik ke mimbar dan
berkata: ” Dengan ini kami memakzulkan Ali dari jabatan Khalifah”.Pada saat itu
juga Amr bin Ash kemudian Amr bin Ash segera naik kemimbar dan membuat
pengumuman yang mengejutkan dan tidak disangka- sangka bagi Abu Musa:” Maka
dengan ini Khalifah yang sah adalah Mu’awiyah !!!”.
Gegerlah seluruh masyarakat, namun sebagian mereka
percaya dan menganggap memang itulah keputusan tahkim yang telah disepakati, yang berarti Ali sudah tidak
memiliki legitimasi lagi sebagai Khalifah yang sah.Sekitar 12.000 tentara yang
mulanya setia kepada Ali dan memang sejak awal sudah tidak puas dengan
dibentuknya badan arbitrase kemudian menyatakan diri walk out (khowarij) dan menganggap mereka semua yang terlibat
tahkim telah kafir, termasuk S.Ali dan Mu’awiyah.
Inilah cikal bakal kelompok ekstrim dan radikal dalam
Islam. Mereka kemudian berkumpul dan menyusun kekuatan di sebuah desa yang
bernama Khoruroh, sehingga mereka sering juga disebut golongan Khoruriyah, atau
Khowarij karena mereka keluar dari jama’ah kaum muslimin yang telah menerima
tahkim. Sering juga mereka disebut Khoriji lafadh Mufrod dari Khowarij atau
kadang disebut juga Al- Muhakkamah yang artinya : hanya mengakui hukum- hukum
Allah, atau Nahrawandi karena mereka pernah dihancurkan oleh S. Ali dalam
peperangan hebat di Nahrawand, Persia pada tahun 38 H/ 658 M.
v Persoalan Dosa Besar
Kaum Khawarij berpandangan Ali Bin Abi Thalib,
Muawiyah, Amr Bin AS, Abu Musa Al-Asy’ari dan seluruh orang yang menerima
Arbitrase adalah berdosa besar dan Kafir dalam arti keluar dari Islam dan harus
dibunuh.Pandangan ini bertolak pada S. al-Maidah:44 yang menyatakan
“Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah
SWT. Adalah kafir”
Persoalan Dosa besar seperti pandangan kaum Khawarij
di atas, selanjutnya bergeser menjadi permasalahan Teologi.Dalam perkembangan
selanjutnya persolan Dosa Besar (murtakib al-kabir) mempunyai pengaruh besar
dalam pertumbuhan aliran Teologi dalam Islam. Permasalahan utamanya adalah “
bagaimanakah status orang yang berdosa besar, apakah mukmin ataukah kafir”
0 komentar:
Post a Comment