Posted by Jhon Frie. Category:
ARSITEKTUR
I. PENDAHULUAN
Agama Islam menempatkan ilmu dan ilmuwan dalam kedudukan yang tinggi, sejajar dengan orang-orang yang beriman (QS al-Mujaadilah, 58: 11). Hal ini bisa dilihat dari banyaknya nash baik al-Qur„an maupun al-Sunnah yang menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan wahyu yang pertama kali turun adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu yakni perintah untuk membaca‟.seperti yang terdapat dalam QS al-„Alaq.
“Bacalah dengan (menyebut) Nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS al-„Alaq, 96: 1- 5)
Ilmu didasarkan pada premis bahwa indra kita, dan perpanjangan dari panca indra tersebut melalui penggunaan instrumen, dapat memberikan kami informasi yang akurat tentang Semesta. Ilmu berikut sangat spesifik "aturan" dan hasil-hasilnya selalu dikenakan pengujian dan, jika perlu, revisi. Bahkan dengan ilmu hambatan tersebut tidak mengecualikan, dan sering manfaat dari, kreativitas dan imajinasi.
Ilmu dan Pengetahuan
Ilmu (dari Bahasa Latin scientia, yang berarti "pengetahuan") adalah perusahaan yang sistematis untuk mengumpulkan pengetahuan tentang dunia dan mengorganisasikan dan kondensasi pengetahuan itu menjadi undang-undang bisa diuji dan teori. Sebagai pengetahuan meningkat, beberapa metode telah terbukti lebih dapat diandalkan daripada yang lain , dan hari ini Metode Ilmiah adalah standar untuk ilmu pengetahuan.. Ini termasuk penggunaan pengamatan yang cermat, Percobaan , Pengukuran , Matematika , dan replikasi - untuk dipertimbangkan ilmu, tubuh pengetahuan harus berdiri sampai dengan pengujian diulang oleh pengamat independen. Penggunaan metode ilmiah untuk membuat penemuan-penemuan baru disebut ilmiah penelitian , dan orang-orang yang melakukan penelitian ini disebut ilmuwan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, terbitan Balai Pustaka, Jakarta, 2001, Ilmu artinya adalah Pengetahuan atau Kepandaian. Dari penjelasan dan beberapa contohnya, maka yang dimaksud pengetahuan atau kepandaian tersebut tidak saja berkenaan dengan masalah keadaan alam, tapi juga termasuk “kebatinan” dan persoalan-persoalan lainnya. Sebagaimana yang sudah kita kenal mengenai beberapa macam nama ilmu, maka tampak dengan jelas bahwa cakupan ilmu sangatlah luas, misalnya ilmu ukur, ilmu bumi, ilmu dagang, ilmu hitung, ilmu silat, ilmu tauhid, ilmu mantek, ilmu batin (kebatinan), ilmu hitam, dan sebagainya.
Kata ilmu sudah digunakan masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu. Di Indonesia, bahkan sebelum ada kata ilmu sudah dikenal kata-kata lain yang maksudnya sama, misalnya kepandaian, kecakapan, pengetahuan, ajaran, kawruh, pangrawuh, kawikihan, jnana, widya, parujnana, dan lain-lain. Sejak lebih dari seribu tahun yang lampau nenek moyang bangsa kita telah menghasilkan banyak macam ilmu, contohnya kalpasastra (ilmu farmasi), supakasastra (ilmu tataboga), jyotisa (ilmu perbintangan), wedastra (ilmu olah senjata), yudanegara atau niti (ilmu politik), wagmika (ilmu pidato), sandisutra (sexiology), dharmawidi (ilmu keadilan), dan masih banyak lagi yang lainnya.
Disini dapat diketahui perbedaan antara pengetahuan (knowledge) dan ilmu (science). Pengetahuan diartikan hanyalah sekadar “tahu”, yaitu hasil tahu dari usaha manusia untuk menjawab pertanyaan “what”, misalnya apa batu, apa gunung, apa air, dan sebagainya. Sedangkan ilmu bukan hanya sekadar dapat menjawab “apa” tetapi akan dapat menjawab“mengapa” dan “bagaimana misalnya mengapa batu banyak macamnya, mengapa gunung dapat meletus, mengapa es mengapung dalam air.
Pengetahuan dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi ilmu apabila memenuhi tiga kriteria, yaitu obyek kajian, metoda pendekatan dan bersifat universal. Tidak selamanya fenomena yang ada di alam ini dapat dijawab dengan ilmu, atau setidaknya banyak pada awalnya ilmu tidak dapat menjawabnya. Hal tersebut disebabkan ilmu yang dimaksud dalam terminologi di sini mensyaratkan adanya fakta-fakta.
Ilmu dan Arsitektur
Ilmu terbagi 3 yaitu, yaitu , sientifik ,skolastik, dan designerik. Kita akan lihat apa perbedaan dari ke tiga jenis ilmu tersebut dan bagaimana kedudukan ilmu arsitektur di sana.
Pertama, ilmu sientifik atau ilmiah. Ilmu sientifik menggunakan metode induksi dan deduksi yang ilmiah. Terciptanya suatu ilmu dangan metode ini berawal dari penemuan-penemuan yang berdasarkan pengamatan, dari pengamatan-pengamatan tersebut akan kita dapatkan rumusan, dan rumusan-rumusan yang ada tersebut tugasnya untuk memperkecil ketidakpastian (anomali). Dalam arsitektur metode seperti ini yang dipakai. Arsitek harus seperti ini, rancangan-rancangan yang ia buat harus pasti dapat terbangun sehingga tidak terdapat anomali/ketidakpastian pada rancangannya tersebut.
Modus arsitektur tradisional selalu seperti ini, pertama mungkin mereka membangun seminimal mungkin dengan pengetahuan yang mereka miliki kemudian terdapat kesalahan-kesalahan pada rancangannya, mereka memperbaiki, kemudian ada kesalahan lagi, dan mereka bangun dan perbaiki lagi, begini terus sehingga nantinya sampai pada titik dimana rancangannya tersebut memiliki seminimal mungkin kesalahan. Ilmu yang mereka dapat berdasarkan pengalaman mencoba dan menerapkan. Tradisi selalu terkait dengan tempat, waktu, fungsi, pengguna, tujuan, pandangan dan paradigma serta diikuti dengan prinsip-prinsip interpretasi, tindakan, tinjauan, dan nilai. Sedangkan arsitektur modern lebih pada pencapaian yang ter-, tertinggi, terpanjang, dan ter-ter lainnya. Sehingga pergerakannya tidak akan berhenti.
Kedua, ilmu skolastik atau ilmu yang didapat dari text. Contoh dari ilmu-ilmu yang skolastik adalah feng sui, primbon, dan lainnya. Ilmu tersebut didapat dari sebuah text. Arsitektur dengan tipe seperti ini cenderung berpikir liberal karena cenderung berpikiran bebas dengan membuat sesuatu yang baru dan belum pernah ada. Ide-ide yang ada biasanya didapat dari sesuatu yang baru dan cenderung idealis. Pada tipe ini biasanya yang lebih menonjol adalah dimulainya ide dari sebuah venustas/keindahan sedangkan teknis penerapannya bagaimana baru akan dipikirkan kemudian, ini yang menyebabkan ide-ide tersebut banyak yang tidak bisa diterapkan atapun malah dipaksa untuk direalisasikan.
Contohnya adalah arsitektur museum karya eisenman di Ohio. Museum ini mungkin cukup unik dengan bentuknya dan tiang-tiang yang melintang di sana-sini pada ruang dalam bangunannya tetapi dari segi fungsional museum ini sangat menyulitkan pengunjung yang datang dan ingin berkegiatan di sana. Pintu masuknya sendiri juga sulit didapat dan menjadikannya tidak memberikan kenyamanan pada orang-orang yang ingin ke sana. Ada juga bangunan yang dibuat dari bentukan ’bloopps’ atau tai kerbau yang jatuh. Karena hasil bentukannya menurutnya bagus, bentuk tersebut dijadikan sebagai bentuk dari rancangan bangunannya, semua berdasarkan keindahan subjektif belaka. Seharusnya arsitektur tidak seperti itu karena kita berhubungan dengan sisi humanisme pada manusia yang harus pula mengedepankan fungsi dan kenyamanan.
Sebagai arsitek bolehlah konsep kita seimajenatif mungkin tapi kita juga harus menguasai teknis-teknis membangun konsep kita tersebut. Dan arsitektur selalu berhubungan dengan manusia sehingga segi fungsionalitas dan firmitas tidak bisa kita abaikan. Jangan hanya semata-mata hanya memperhatikan segi keindahannya saja. Dan untuk menguasai teknis-teknis tersebut kita harus tau limit dari sesuatu. Kita tidak harus mengetahui detail dari semua ilmu. Tapi dengan tau limit dari sesuatu kita akan dapat memperkirakan apakan bangunan yang kita rancang itu dapat terbangun atau tidak.
Kemudian ilmu yang terakhir adalah ilmu designerik. Jika kita bandingkan ketiga ilmu tersebut dan mengaitkannya ke ilmu arsitektur maka akan terlihat bahwa ilmu sientifik merupakan awal mula teknik arsitektur, dimana ilmu didapat dari serangkaian percobaan dan penerapan hingga akhirnya menghasilkan sesuatu dengan kesalahan seminimal mungkin atau pasti. Sekarang kita (mahasiswa arsitektur) sedang berada pada tipe ilmu skolastik yang lebih menjurus ke seni atau art dengan diberikannya kebebasan sebesar mungkin ketika kita merancang sesuatu (lebih mementingkan konsep dan kekonsistenan pernyataan ketika di awal kita mendesign dengan hasil yang tercipta dibanding bisa tidaknya ide tersebut dibangun). Dan yang terakhir adalah ilmu designerik yang nantinya akan kita dapat ketika kita melakukan magang di dunia kerja.
Tanggapan
Penggunaan metode induksi dan reduksi sangat membantu para arsitek dalam menyelesaikan sebuah proyek, karena metode ini diawali dengan pengamatan-pengamatan yang kemudian menimbulkan rumusan masalah. Rumusan-rumusan itu memperkecil ketidakpastian. Dengan menggunakan metode seperti ini para arsitek bisa memperkecil kesalahan atau ketidak pastian yang menimbulkam banyak kesalahan-kesalahan.
Seharusnya dalam melakukan suatu perancangan harus memperhatikan kenyamanan manusia yang beraktifitas dilingkungan tersebut, sebelum keindahan harus memperhatikan kenyamanannya dulu, karena percuma saja bangunan yang megah dan indah kalau tidak memberikan kesan nyaman
Dari ketiga ilmu tersebut mempunyai keterkaitan yang berkelanjutan, dimulai dari sientifik yaitu proses pengamatan yang merupakan awal dari teknik arsitektur, kemudian dilanjutkan dengan skolastik, yakni penetapan konsep yang digunakan Dalam perancangan, selanjutnya ilmu designerik yang merupakan proses desain suatu prokyek tersebut. Ketiga ilmu ini berintegrasi untuk menjadi satu kesatuan yang dibutuhkan dalam perancangan.
IV.DAFTAR PUSTAKA
Mustamin, M. Hasyim. 2010. Membangun Keilmuan Integratif Berbasis Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi. http://hasyimustamin.blogspot.com/2010/01/membangun-keilmuan-integratif-berbasis.html. Di akses 02 mei 2010.
0 komentar:
Post a Comment