Wednesday, June 19, 2013

Logos, Ethos dan Pathos

Posted by Jhon Frie. Category:


Menurut Buchanan, sebagaimana dikutip Yuswadi Saliya (2003), ada tiga hal yang dapat dipakai sebagai rujukan dalam mengarahkan perhatian dalam kegiatan merancang/desain. Adapun ketiga hal tersebut adalah logos yang merupakan landasan pemahaman yang bersumber dari ranah teknologi, kedua adalah ethos, yang merupakan unsur pembentuk karakter, dan ketiga adalah pathos, sebagai unsur yang memberikan ruh ke dalam desain. Lebih lanjut Buchanan menegaskan bahwa desain membutuhkan logos, sebagai landasan teoretisnya, ethos sebagai landasan eksistensialnya, dan pathos sebagai unsur kejiwaan yang memberikan dimensi emosional.

Logos merujuk kepada konsistensi teoretis yang diujudkan kedalam unsur-unsurarsitektur, seperti ketepatan pemilihan sistem struktur dan pemilihan material, kesesuaian dimensi dan beban, besaran ruang dengan jalur sirkulasi di dalam bangunan, juga bentuk tinggi-rendah dan lebar-sempitnya atap. Ethos, seperti kritik Yuswadi Saliya terhadap karya rancang bangun para arsitek kiwari, dalam keputusan perolehan bentuk belum memiliki landasan eksistensial yang tegas, dan tidak memiliki karakter yang kuat.

Gubahan bentuk yang lahir belum melahirkan Gestalt yang utuh, alhasil hanya sekedar lahir dari tradisi geometri yang masih banal, dan belum terolah. Artinya, getaran emosional yang sering disebut di dalam teori arsitektur Barat sebagai style/langgam belum dapat dikenali. Hal ini, sedikit banyaknya, memang terkait dengan lembaga pendidikannya yang tak kunjung mampu merumuskan cita-citanya, kurang percaya diri (assertive), hingga tradisinya pun tak kunjung terbentuk (Saliya, 2003)

Globalisasi seperti yang disampaikan di awal tulisan, memberikan dampak positif dan negatif. Adalah sesuatu hal yang pasti bahwa, dengan munculnya kemajuan perkembangan teknologi informasi, pergeseran bahasa-sistem analog ke digital, ternyata telah mengguncangkan kemapanan bentuk yang selama ini dijadikan sebagai batu landasan kerja, tujuan akhir yang mudah dicirikan. Kini, dengan adanya dinamika yang cepat, bentuk menjadi sesuatu yang nisbi, dan tidak lagi mewakili gagasan keabadian, bentuk bukan lagi suatu terminal (tujuan akhir). Dapat dipastikan adalah hasilnya adalah ke-serba-tidak-pasti-an, yang masih perlu direspons dengan fleksibilitas yang tinggi. Sebagai konsekuensinya pendekatan-pendekatan dalam perencanaan/perancangan juga harus mempertimbangan dinamika tersebut dan bahkan ambivalensi dalam praktekpraktek rancang bangun (Ipsen, 1999). 

Dalam konteks urban (buldan), hal senada diungkapkan pula oleh arsitek pemikir Belanda Rem Koolhaas (1990) bahwa dikarenakan dinamika dan kompleksitas kehidupan berkota, desain arsitektur dan urban yang hanya terfokus kepada kaidah-kaidah komposisi dan sistem spasial tanpa memberikan solusi bagi persoalan nyata adalah sia-sia. Menurutnya, desain arsitektur dan urban tidak lain merupakan sebuah jalinan simulasi teatrikal dari ketidakpastian sendiri. Selain itu, desain arsitektur dan desan urban kontemporer tidak bisa hanya berorientasi kepada geometri dan struktur yang rigid, tetapi harus membuka peluang dan penafsiran baru dalam upaya pemanfaatan aset perkotaan secara berkelanjutan (Martokusumo, 2005). 

Jadi, pertimbangan dalam pemilihan (mendesain) bentuk tampaknya akan membutuhkan pemikiran dan perenungan yang lebih panjang. Dalam ranah logos, pertimbangan tersebut menjadi relatif lebih mudah, misalnya pertimbangan iklim (tropis), fungsi, dan pilihan terhadap material/bahan dan sistem struktur dan konstruksi bangunan. Mengapa? Karena pada umumnya telah berupa standar atau rumusan baku yang objektif. Sementara pertimbangan sosio-kultural sebagai bagian pembentuk ethos menjadi semakin rumit. Selanjutnya pathos, sebagai unsur pemberi ruh dapat membangkitkan keakraban atau malahan justru keasingan emosional, apalagi dalam konteks perbuahan/dinamika sosial yang cepat. 

Dapat diamati kemudian, bahwa geometri itu ternyata membutuhkan hubungan dengan tradisi yang bergumul dengan kehidupan sehari-hari yang lebih manusiawi. Artinya, desain itu harus menyentuh bumi, tidak lagi sekedar mengawangawang, seperti kebanyakan kelemahan desain arsitektur kontemporer, yang lebih kepada pemuasan diri (arsitek) sendiri. Dalam kegiatan rancang bangun/desain arsitektur kiwari geometri -sebagai bagian dari arsitektur dan juga sebaliknya- digunakan secara banal, karena selain tidak banyak arsitektur yang mengindahkannya, lebih banyak arsitektur yang dengan semena-mena menaklukannya; serta hanya sedikit arsitektur yang mampu mengendalikannya (Saliya, 2003).

Perkembangan selanjutnya, dipastikan desain arsitektur/seni bangunan kontemporer tidak dapat lepas dari warna isu-isu sosial-politik (misalnya, isu keberlanjutan, partisipatoris/populis, keberpihakan, universal design/design for all/barrier free design dll.) bahkan juga gender dan telaah-telaah pasca-kolonial. Artinya para arsitek dan perancang tidak dapat memalingkan mukanya dari persoalan-persoalan tersebut. Kecenderungan arsitektur zaman kiwari ini adalah “bentuk selesai tanpa menyertakan penghuni”, sebagai sebuah bangunan yang devoid of human being, yang mengesankan keinginan untuk mencapai nilai puitis yang kekal, dari diktum l’art pour l’art. Bagaimana pun bangunan/karya rancang bangun harus menyertakan penghuninya (Saliya, 2003).

Kembali kepada paradigma desain sebagai suatu disiplin pun harus mampu memperkaya kriteria dan wawasan kemanusiannya. Tendensi kepada sebuah gerakan elitis, memang sulit dan tidak dapat ditampik, dimana justru para arsitek justru sengaja membentuk enclave sendiri di tengah-tengah masyarakatnya. Jika seni bangunan kontemporer menjadi wacana, maka kritik tersebut perlu mendapat perhatian serius! 

Kriteria desain yang menyertakan kemajuan-kemajuan wawasan seperti itulah yang barangkali nantinya akan menyelamatkan profesi arsitek(tur) dari berbagai tuduhan dan ketidakadilan dan diskriminasi. Kenyataan tuduhan perusak lingkungan, pencipta segregasi, atau profesi yang tidak lebih parasit dari masyarakat perlu dibuktikan dengan karya rancang bangunan yang lebih humanis, membumi dan ramah lingkungan. Nampaknya, tradisi geometri yang Platonis perlu digeser menjadi lebih humanis. Nilai nilai puitis harus diberi pathos citarasa lokal, agar lebih berkarakter, dan berdiri tegak berdasarkan ethos kehidupan yang lebih nyata, lebih membumi, yang turut menjelaskan kedudukan seseorang di tengah masyarakatnya, tanpa menyimpang dari kebenaran logika.

0 komentar:

Post a Comment

◄ Posting Baru Posting Lama ►