Friday, May 10, 2013

Teologi Islam

Posted by Jhon Frie. Category:

Pengertian Teologi Islam
Teologi dari segi etimologi berasal dari bahsa yunani yaitu theologia. Yang terdiri dari kata theos yang berarti tuhan atau dewa, dan logos yang artinya ilmu. Sehingga teologi adalah pengetahuan ketuhanan . menurut William L. Resse, Teologi berasal dari bahasa Inggris yaitu theology yang artinya discourse or reason concerning god (diskursus atau pemikiran tentang tuhan) dengan kata-kata ini Reese lebih jauh mengatakan, “teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan. Gove mengatkan bahwa teologi merupakan penjelasan tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama secara rasional

Secara terminologi teologi Islam atau yang disebut juga Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas ushul sebagai suatu aqidah tentang keEsaan Allah swt, wujud dan sifat-sifat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan sebagainya yang diperkuat dengan dalil-dalil aqal dan meyakinkan.3 Teologi lebih luas pandangannya dari pada fikih. Kalau fikih membahas soal haram dan halal, teologi di samping soal ke Tuhan-an membahas pula soal iman dan kufur; siapa yang sebenarnya Muslim dan masih tetap dalam Islam, dan siapa yang sebenarnya kafir dan telah keluar dari Islam. Termasuk dalam pembahasan itu soal Muslim yang mengerjakan hal-hal yang haram dan soal kafir yang mengerjakan hal-hal yang baik. Dengan demikian teologi membahas soal-soal dasar dan soal pokok dan bukan soal furu’ atau cabang dan ranting yang menjadi pembahasan fikih. Dengan demikian tinjauan teologi akan memberi pandangan yang lebih lapang dan sikap yang lebih toleran dari tinjauan hukum atau fikih.4

Latar Belakang Timbulnya Persoalan Teologi
Menurut Harun Nasution “Permasalahan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah permasalahan yang berbasiskan pada persoalan teologi namun, permasalahan politik”. Permasalahan politik tersebut dalam perjalanannya beranjak menjadi permasalahan Teologi.
v  Situasi yang kacau
Dimulai dengan terbunuhnya Sayidina Utsman Bin Affan, Kholifah ke III pada tahun 35 H/ 656 M oleh suatu kelompok pemberontak yang datang dari perbagai daerah kekhalifahan Islam.
Kejadian ini diyakini tercipta karena adanya seorang penyusup dan penghasut yakni Abdullah bin Saba’, seorang tokoh Yahudi yang masuk Islam, dan merasa marah dan geram karena permintaannya terhadap suatu jabatan ditolak mentah- mentah oleh Umar bin Khottob. Sakit hatinya ditumpahkan dengan membentuk dan mempengaruhi serta menghasut beberapa kelompok masyarakat agar bersifat opposan dan membangkang terhadap kekhalifahan Utsman dengan menonjolkan issu nepotisme dan korupsi pemerintahan Khalifah Utsman kepermukaan, satu tuduhan yang mengada- ada, diantaranya dengan meng- ekpose bukti- bukti diangkatnya beberapa kerabat dekat beliau sebagai pejabat pemerintahan, termasuk dengan ditetapkannya Mu’awiyah sebagai gubernur di Damaskus, Syria (Syam, sebutan waktu itu). Yang jadi masalah dan menjadi fitnah terbesar adalah bahwa mereka itu mengatas namakan diri mereka sebagai Pendukung Ali (bahasa Arab: “Syi’ah  Ali”— dikemudian hari disingkat: Syi’ah), dengan tuntutan agar Utsman yang saat itu sudah berumur 82 tahun, harus segera lengser dan digantikan dengan Ali, yang berarti mereka secara sengaja membenturkan dan  mengadu domba antara Ali dan Utsman bin Affan, dua orang sahabat setia Nabi sekaligus sebagai menantu beliau. Inilah muslihat terbesar sepanjang sejarah Islam, sebuah kuda troya dari orang- orang Yahudi yang sengaja disusupkan ketengah kaum muslimin untuk menghancurkan kaum  muslimin dengan memecah belahnya dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan kepentingan S. Ali..
Gerakan oposisi ini mendapat dukungan beberapa aneka kelompok masyarakat muslim baru yang berasal dari beberapa daerah kekhalifahan Islam waktu itu yang telah meluas sampai benua Afrika dan Afganistan. Sedang para sahabat nabi yang setia pada saat kejadian berada jauh dan tersebar luas diseluruh daerah Islam, jauh dari Madinah sebagai pusat pemerintahan. Kelompok pembunuh ini nanti hanya satu nama yang dapat diidentifikasi, namanya adalah : Al- Ghofiqi, dan karena luas dan tersebarnya asal suku kebangsaan para pemberontak ini, maka implikasi politik atas penanganan yang sembrono akan menjadi sangat luas dan berbahaya.
Beberapa saat kemudian Sayidina.Ali terpilih oleh penduduk Madinah sebagai Khalifah ke IV untuk mengisi kekosongan agar kekhalifahan Islam tidak terlalu lama mengalami vacuum tanpa pemimpin. Namun ternyata Mu’awiyah sebagai kerabat S. Utsman yang merasa berhak menuntut balas atas kematian S.Utsman, saudaranya itu sebagaimana adat istiadat Arab yang sangat melindungi kerabatnya, tidak mau membai’at S. Ali sebelum S.Ali membekuk semua pembunuh S.Utsman. Dan ini tentu sulit dilakukan Oleh Ali yang baru berkuasa, karena asal suku kebangsaan para pemberontak ini tersebar luas dari seluruh wilayah kekuasaan Islam.

v  2Pertempuran Shiffiin (37 H/ 657 M)
Akhirnya karena S. Ali tak mampu membekuk pembunuh S. Utsman dalam waktu yang ditentukan oleh Mu’awiyah, maka Mu’awiyahpun memproklamirkan diri sebagai Khalifah yang berkedudukan di Damaskus, Syria. Pemerintahan Madinah yang kemudian dipindahkan ke Kufah menganggap ini adalah suatu tindakan pemberontakan (bughot) terhadap pemerintahan yang sah – sesuai Qur’an Surat Al- Hujurot yang harus diperangi. Namun demikian S.Ali masih berusaha melakukan islah, diplomasi dan negosiasi agar perpecahan tak berlanjut, namun rupanya Mu’awiyah merasa cukup kuat dan menolak segala islah dan diplomasi Ali. Pertempuran pun pecah di sebuah tempat bernama Shiffin dipinggiran sungai Euphrat, dengan melibatkan 90.000 tentara pasukan Ali melawan 120.000 tentara pasukan Mu’awiyah. Pertempuran ini sebetulnya bukan merupakan pertempuran pertama antara sesama muslim, karena sebelumnya telah terjadi pula pertempuran dan perang saudara sesama muslim. Yakni setahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 36 H/ 656 di Basrah, terjadi peperangan Jamal antara tentara dibawah pimpinan A’isyah istri Nabi yang sedang berusaha mencari dan menangkap para pembunuh Utsman, melawan tentara dibawah Ali. Sebabnya adalah hasutan Abdullah bin Saba’ juga, yang mampu membangkitkan luka lama antara Ali dan A’isyah saat terjadi Haditsul Ifki, yang kisah dramatisnya tidak akan dikisahkan disini, suatu peperangan sia- sia yang mengorbankan lebih 10.000 tentara kaum muslimin yang bersaudara.

v  Tahkim (Badan Arbitrase)
Pertempuran Shiffin pun berkecamuk dengan hebat dan segera nampak kemenangan sudah diambang pintu bagi pihak Ali. Korban telah jatuh dari kedua belah pihak. Dari pihak Ali 25.000 tentara telah terbunuh sedang dari pihak Mu’awiyah 45.000 tentara telah tewas. Mu’awiyahpun menyadari hal itu dan segera melakukan siasat dengan mengangkat 500 copy Al-Qur’an pada ujung- ujung tombak tentara mereka sebagai tanda mereka mau Islah secara Qur’any. Pada awalnya Ali tak mempedulikan hal itu karena beliau tahu itu hanya sekedar siasat licik dari Mu’awiyah, namun atas desakan para sahabat yang lain (terutama dari kelompok cikal bakal khowarij), akhirnya Ali menyetujui Islah.
Kemudian diadakan kesepakatan agar masing masing mengangkat seorang delegasi yang memiliki wewenang penuh untuk menentukan dan mengambil keputusan final untuk menyelesaikan fitnah tersebut. Kesepakatan ini disebut Tahkim  (Arbitrasse). Pihak Ali mengangkat Sahabat Abu Musa Al- Asy’ary yang jujur dan lugu, ditemani oleh sahabat Abdullah bin Abbas, sedang pihak Mu’awiyah diwakili oleh Sahabat Amr bin Ash, seorang ahli siasat yang ulung.Disaat inilah mulai muncul ketidak puasan dari sejumlah kelompok tentara berjumlah kurang lebih 12.000 orang yang m,
sebelumnya pendukung setia Ali dari kabilah Bani Hanifah dan Bani Tamim, yang menganggap S.Ali sudah tidak berhukum dengan qur’an karena menerima tahkim karena menurut mereka Qur’an menyatakan bahwa kaum bughot/ pemberontak  harus diperangi, sampai mereka sadar kembali. Mereka menganggap dengan menerima tahkim berarti Ali telah melanggar ayat: “Waman lam yahkum bimaa anzalallohu fa’ulaaika humul Kaafiruun/ Dhoolimuun/ Faasiquun.” (Al- Ma’idah 44- 47)
Abu Musa Al’Asy’ary pun diterima dengan baik dan ramah tamah oleh Amr bin Ash. Sahabat Abdullah bin Abbas sudah memperingatkan kepada Abu Musa Al- Asy’ary agar hati- hati menghadapi sikap ramah tamah Amr bin Ash, mungkin ada siasat yang sedang Amr persiapkan. Amr pun me- loby Abu Musa agar lebih baik mereka memakzulkan/ melengserkan kedua- dua Khalifah tersebut yang telah membuat kaum muslimin terbelah. Lebih baik mencari pemimpin lain yang tidak tersangkut kasus fitnah besar tersebut atas dasar pemilihan secara demokratis dari perwakilan yang ditunjuk (Ahlul Halli Wal- Aqdi). Rupanya siasat ini termakan oleh Abu Musa yang tua dan jujur itu, maka merekapun mempersiapkan sebuah pertemuan besar untuk mengumumkan hasil tahkim  itu.
Kemudian pada hari pemakzulan ditentukan dan sejumlah besar perwakilan kaum muslimin berkumpul di Dummatul Jandal pada tanggal 21- Romadhon 37 H/ February- 658 M, secara bergantian Amr bin Ash dan Abu Musa Al- Asy’ary nanti akan mengumumkan pemakzulan kedua Khalifah itu. Dengan halus dan sopan Amr bin Ash mempersilahkan Abu Musa Al- Asy’ary yang lebih tua agar mengumumkan pemakzulan Ali terlebih dulu sebagai penghormatan. Siasat ini sungguh tidak disadari oleh Abu Musa yang lugu itu.Ia pun menerima kehormatan mengumumkan lebih dulu pemakzulan Ali. Dia naik ke mimbar dan berkata: ” Dengan ini kami memakzulkan Ali dari jabatan Khalifah”.Pada saat itu juga Amr bin Ash kemudian Amr bin Ash segera naik kemimbar dan membuat pengumuman yang mengejutkan dan tidak disangka- sangka bagi Abu Musa:” Maka dengan ini Khalifah yang sah adalah Mu’awiyah !!!”.
Gegerlah seluruh masyarakat, namun sebagian mereka percaya dan menganggap memang itulah keputusan tahkim yang telah disepakati, yang berarti Ali sudah tidak memiliki legitimasi lagi sebagai Khalifah yang sah.Sekitar 12.000 tentara yang mulanya setia kepada Ali dan memang sejak awal sudah tidak puas dengan dibentuknya badan arbitrase kemudian menyatakan diri walk out (khowarij) dan menganggap mereka semua yang terlibat tahkim telah kafir, termasuk S.Ali dan Mu’awiyah.
Inilah cikal bakal kelompok ekstrim dan radikal dalam Islam. Mereka kemudian berkumpul dan menyusun kekuatan di sebuah desa yang bernama Khoruroh, sehingga mereka sering juga disebut golongan Khoruriyah, atau Khowarij karena mereka keluar dari jama’ah kaum muslimin yang telah menerima tahkim. Sering juga mereka disebut Khoriji lafadh Mufrod dari Khowarij atau kadang disebut juga Al- Muhakkamah yang artinya : hanya mengakui hukum- hukum Allah, atau Nahrawandi karena mereka pernah dihancurkan oleh S. Ali dalam peperangan hebat di Nahrawand, Persia pada tahun 38 H/ 658 M.

v  Persoalan Dosa Besar
Kaum Khawarij berpandangan Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah, Amr Bin AS, Abu Musa Al-Asy’ari dan seluruh orang yang menerima Arbitrase adalah berdosa besar dan Kafir dalam arti keluar dari Islam dan harus dibunuh.Pandangan  ini bertolak pada S. al-Maidah:44 yang menyatakan “Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT. Adalah kafir”
Persoalan Dosa besar seperti pandangan kaum Khawarij di atas, selanjutnya bergeser menjadi permasalahan Teologi.Dalam perkembangan selanjutnya persolan Dosa Besar (murtakib al-kabir) mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan aliran Teologi dalam Islam. Permasalahan utamanya adalah “ bagaimanakah status orang yang berdosa besar, apakah mukmin ataukah kafir”

0 komentar:

Post a Comment

◄ Posting Baru Posting Lama ►